Wednesday, January 4, 2012

IKLAN POLITIK DI MEDIA

Iklan politik di Indonesia relatif bersih karena tidak menyerang lawan seara pribadi. Berbeda dengan Amerika Serikat, dimana segala cara dilakukan termasuk mengungkit urusan pribadi lawan.


Industri periklanan merupakan industri yang memiliki prospek. Hal ini dibuktikan dengan adanya fakta mengenai belanja periklanan yang naik dari tahun ke tahun. Menurut catatan Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I), pendapatan iklan nasional naik 24 persen dari Rp 13,4 triliun menjadi 16,7 triliun. Kenaikan pendapatan ini diikuti dengan jumlah perusahaan periklanan dimana terdapat 438 agensi dari jumlah sebelumnya yang hanya 217 agensi.
Dari jenis media iklan ternyata belanja iklan di media televisi dan cetak menjadi idola pemasang iklan. Mungkin karena dianggap lebih efektif dan jangkaunnya mememasuki seluruh lapisan masyarakat sehingga menguntungkan para pemasang iklan. Tercatat dana iklan banyak terserap di media televisi yaitu 62 persen, media cetak 30 persen dan radio 5 persen sedangkan sisanya diambil alih media outdoor seperti baliho, spanduk dan lain-lain.
Masih menurut catatan P3I, di tahun 2003 belanja sebesar Rp 18 trilun dan naik di tahun 2004 hingga mencapai 24 triliun. Jumlah ini terus mengalami kenaikan di tahun berikutnya yaitu Rp 30 triliun (2006) dan Rp 35 triliun (2007). Kenaikan cukup drastis terjadi di tahun 2008 dimana belanja iklan mencapai Rp 47 triliun dan terakhir di tahun 2009 kembali naik menjadi Rp 52 triliun.




Dalam teori, ilmu periklanan adalah kegiatan mengkomunikasikan secara lengkap ide-ide atau gagasan penjualan produsen agar bisa diterima konsumen.
Secara umum periklanan memiliki fungsi memberi informasi, mempersuasi, mengingatkan, memberi nilai tambah dan mendampingi perusahaan. Dalam perkembangannya, periklanan bukan saja dimanfaatkan untuk kepentingan bisnis tetapi sudah merambah ke arena politik di Indonesia. Hingar bingar politik iklan ini muncul dari negara modern Amerika Serikat saat pemilihan presiden, khususnya pada era George Bush yang dilanjutkan pada era Barack Obama.
Indonesia sebagai negara yang sedang belajar demokrasi pun meniru gaya Amerika. Peniruan ini dimulai saat Pilpres tahun 2004. Tak heran publik sering menyaksikan para politisi dan para calon presiden, gubernur, Bupati/wailkota yang nampang di layar televisi, koran maupun media outdoor. Dunia yang selama ini hanya dimiliki para artis.
Dilihat dari tujuannya, iklan yang dilakukan para calon dengan produsen sebuah produk, apakah itu coca cola, Martha tilaar ataupun Honda, tidaklah berbeda yaitu mengenalkan, memengaruhi dan memikat sehingga penikmat iklan mau memilih atau beragabung. Dan jangan salah biaya iklan para calon apakah itu presiden, gubernur dan Bupati/Wakilkota anggaran yang dikeluarkan cukup besar.




Perang iklan di Amerika Serikat cukup kasar karena antar kandidat saling serang untuk memojokan kandidat lain apapun itu kelemahannya.
Pada kasus tahun 1998 dimana George HW Bush menghantam lawannya yaitu Dukakis sebagai orang berpihak kepada kejahatan karena telah memberi kesempatan kepada salah satu pembunuh sehingga penjahat tersebut bebas. Dalam konteks iklan dan politik di Indonesia, publik mulai melihat gejala ini pada pemilihan presiden di tahun 2004 dimana pasangan SBY-JK sukses mengalahkan pasangan Mega-Hasyim. Dari sinilah mulai dikenal di kalangan masyarakat luas politik pencitraan.
Kemenangan SBY-JK tidak bisa dilepaskan dari peranan iklan ketika itu. Sejak itulah kata citra atau pencitraan begitu melekat dalam ingatan publik, khususnya kepada SBY-JK. Wajar jika kemudian belakangan SBY sering disindir sebagian masyarakat sebagai presiden pencitraan. Melihat kelezatan dan buah manis hasil dari pencitraan melalui iklan itulah SBY kembali maju pada pilpres berikutnya dan kembali menuai kesuskesan karena terpilih kembali menjadi presiden untuk kedua kalinya.
Kesuksesan SBY dalam konteks pencitraan dalam iklan menjadi inspirasi para calon kepala daerah di seluruh Indonesia. Tak heran sejak saat itulah kita sering melihat para kandidat berakting di layar televisi ataupun media cetak. Terlepas dari apa pun motif para calon kepala daerah, legislatif maupun presiden memasang iklan, yang pasti periklanan telah menjadi industri yang menjanjikan bukan saja untuk kepentingan bisnis tapi juga kepentingan politik. Yang perlu diperhatikan para calon, masyarakat kian cerdas mengenai gaya kampanye melalui iklan karena sudah dua periode masyarakat telah melihat model komunikasi politik melalui iklan sejak SBY-JK menang pada pilpres 2004 lalu. Artinya, masyarakat tidak lagi menelan mentah-mentah atraksi para calon di berbagai media iklan tapi sudah mulai mencari tahu apakah betul apa yang dikatakan sang calon di dalam iklan. Disinilah peran konsultan “bermain” seperti yang pernah dilakukan Denny JA saat mendampingi SBY.


No comments:

Post a Comment