Wednesday, September 28, 2011

POLITIK : Praktik Politik Di Indonesia

Kapita Selekta

Politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara. Pengertian ini merupakan upaya penggabungan antara berbagai definisi yang berbeda mengenai hakikat politik yang dikenal dalam ilmu politik.

Politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun nonkonstitusional.

Kebudayaan politik Indonesia pada dasarnya bersumber pada pola sikap dan tingkah laku politik yang majemuk. Namun dari sinilah masalah-masalah biasanya bersumber. Mengapa? Dikarenakan oleh karena golongan elite yang mempunyai rasa idealisme yang tinggi. Akan tetapi kadar idealisme yang tinggi itu sering tidak dilandasi oleh pengetahuan yang mantap tentang realita hidup masyarakat. Sedangkan masyarakat yang hidup di dalam realita ini terbentur oleh tembok kenyataan hidup yang berbeda dengan idealisme yang diterapkan oleh golongan elit tersebut. Contohnya, seorang kepala pemerintahan yang mencanangkan program wajib belajar 9 tahun demi meningkatkan mutu pendidikan, namun pada aplikasinya banyak anak-anak yang pada jenjang pendidikan dasar putus sekolah dengan berbagai alasan, seperti tidak memiliki biaya. Hal ini berarti idealisme itu tidak diimplikasikan secara riil dan materiil ke dalam masyarakat yang terlibat dibawah politiknya.

Tidak ada kawan abadi, tidak ada lawan abadi,
yang ada hanyalah kepentingan abadi

Jargon di atas adalah rumus populer yang sering kita lihat dipraktikkan oleh dunia politik, terutama politik yang haus kekuasaan. Dalam praktik yang demikian itu, politik mudah terjerumus ke dalam cara-cara yang tidak etis. Tak heran jika kemudian muncul stereotipe lain tentang politik: "politik kotor".


Jika kita cermati, politik kotor itu dilahirkan dan dilatarbelakangi oleh—seperti dikukuhkan oleh rumus politik di atas—"ideologi kepentingan". Dengan berparadigma ideologi seperti itu, maka segala tindakan politik selalu didasarkan pada adagium "sejauhmana politik bisa mendatangkan keuntungan secara materiil, terutama yang berkaitan dengan kekuasaan". Tak heran jika demi hal itu kawan bisa disikat, dan sebaliknya lawan bisa dirangkul. Orang terpuji bisa dicelakakan, sebaliknya orang tercela bisa disanjung-puja bahkan yang halal bisa diharamkan dan yang haram dihalalkan.

Runyamnya, praktik politik itu pada akhirnya menjadi salah satu faktor penyebab lahirnya persepsi negatif terhadap politik. Dalam persepsi negatif ini, apa saja yang berbau dan berkaitan dengan politik dipandang rendah. Kata-kata: "siasat”, "intrik', atau "manuver", yang pada pengertian umumnya bermakna baik, tetapi ketika bersentuhan dengan politik akan berubah menjadi buruk. Demikian juga ungkapan "dipolitisasi" atau "main politik", kurang lebih adalah sinisme lain terhadap politik.


Secara tidak disadari, persepsi negatif terhadap politik itu akan menimbulkan dampak yang tidak kecil, diantaranya menguatnya sikap apolitik (antipolitik) atau sekulerisasi politik yaitu penjauhan politik dari ranah agama.


Tentu saja, kedua sikap tersebut akan semakin mencampakkan politik pada tempat yang jauh dari nilai-nilai dan pada akhirnya semakin mengukuhkan rumus "politik kotor". Mengapa demikian? Bukankah tanpa keterlibatan publik (karena mereka sudah apolitik), politik akan semakin liar tak terkontrol. Jika politik hanya akan dimonopoli oleh para elit maka politik akan sangat mudah dimain-mainkannya.

Tuesday, September 20, 2011

KEKERASAN SIMBOLIK IKLAN

Kapita Selekta

Banyak cara bagaimana suatu pesan dapat disuntikkan kepada khalayak, misalnya melalui film, cerita novel/fiksi, musik, seni lukis maupun rupa, iklan, dan lain sebagainya. Dalam hal ini saya akan menyinggung peran kerja iklan dalam mempengaruhi masyarakat.

Iklan adalah sebuah wadah guna menyampaikan produk/jasa kepada khalayak sehingga para calon konsumen mampu mengenali, mengidentifikasi, serta menyukai apa yang dilihat, dibaca, dan didengarnya. Iklan sendiri sifatnya membentuk mind set tertentu dalam benak kita, sehingga pengaruhnya begitu 'meracuni' perspektif kita sebagai audien yang baik sengaja ataupun tidak sengaja kita menyantapnya.

Fenomena dunia periklanan semakin berkembang pesat didorong semakin tingginya tingkat kecerdasan dan kreatifitas masyarakat kita. Itu membuat kuantitas iklan yang beredar semakin bertambah dari hari ke hari. Inilah keadaan dimana tanpa kita ketahui lebih dalam bahwa sesungguhnya iklan itu perlahan merasuki pikiran khalayak yang mengonsumsinya disela-sela aktivitas kesehariannya. Mulai dari bangun pagi sampai tertidur di malam hari hidup kita tak lepas dari santapan para pembuat iklan. Televisi, radio, internet, spanduk, billboard, pamflet semuanya itu dapat terlihat dalam keseharian kita. Hal inilah yang memunculkan makna 'Kekerasan Simbolik'. Maksudnya adalah dimana ketika apa yang kita lihat, baca, dan dengar tersebut berulang terjadi dalam jangka waktu singkat namun dengan intensitas dan kuantitas yang tinggi sehingga seolah-olah kita 'dijajah' oleh media. Dari situlah alam bawah sadar kita mulai tersentuh untuk terpaksa menerima arus informasi yang begitu kencang. Jika pesan didalamnya baik, tentu saja akan menyampaikan kita sebagai calon konsumen ke arah yang positif, namun jika sebaliknya ditakutkan akan menjadi sebuah dampak baru yang timbul karena salah persepsi.

Wednesday, September 14, 2011

CITIZEN JOURNALISM

Kapita Selekta


Seperti kita ketahui bahwa perkembangan industri media kini semakin maju. Penerapan metode dan teknologi yang ada sudah semakin terkini sehingga penyampaian arus informasi kepada khalayak dapat berjalan sangat cepat dan mampu men-cover area yang begitu luas hingga ke wilayah pelosok.
Terdistribusinya konten dari informasi (berita) tersebut tak lepas dari peran serta pers di sebuah media dalam menghimpun sebuah isu yang layak di publikasikan.

Citizen Journalism atau jurnalisme rakyat adalah salah satu fenomena paling nyata yang muncul dan berkembang di dunia kita sebagai akibat dari perkembangan teknologi informasi. Pemberitaan yang dibuat 'oleh kita untuk kita' ini menjadi sebuah materi yang memiliki daya untuk disebarluaskan karena memiliki nilai karakteristik dan keunikan tertentu.

Tidak ada yang berubah dari kegiatan jurnalisme yang didefinisikan seputar aktivitas mengumpulkan, mengolah, dan menyebarluaskan berita. Citizen journalism pada dasarnya melibatkan kegiatan seperti itu. Sama saja, hanya konten yang ada bersumber dari publik dan biasanya mengangkat isu publik yang kurang 'terdengar' di permukaan. Di Indonesia, istilah yang dimunculkan untuk citizen journalism adalah jurnalisme partisipatoris atau jurnalisme warga.

Jurnalisme warga belakangan ini menjadi sebuah lahan yang efektif dalam membentuk opini publik. Seperti kita ketahui beberapa kasus yang memanas di negeri ini justru awalnya muncul dari laporan warga. Misalnya kasus Prita dengan RS. OMNI, serta mencuatnya perseteruan antara Cicak versus Buaya. Ini menandakan betapa tingginya efek yang ditimbulkan oleh jurnalisme warga ketika konten dari informasi yang disebarkan itu mampu membuka peluang lebih lebar akan suatu permasalahan. Sehingga berbagai sudut pandang mulai tertuju memberikan atensinya terhadap kasus tersebut.
Namun, terkadang ironis manakala pernyataan-pernyataan masyarakan melalui fesbuk/twitter misalnya dijadikan narasumber dan dilansir oleh media massa. Akan tetapi kenyataan ini mengindikasikan bahwa masyarakat secara mandiri sudah sanggup untuk mengartikulasikan kehendaknya dan media massa konvensional bukan lagi dianggap sebagai satu-satunya alat transformasi informasi.